Selasa, 16 Oktober 2018

Sastra Lisan


UJIAN TENGAH SEMESTER SASTRA LISAN

Hari/Tanggal               : Rabu, 10 Oktober 2018
Matakuliah                  : Sastra Lisan
Dosen Pengampu        : Ahmad Jami’ul Amil, M.Pd.
Ruangan                      : RKB D 203

Nama Mahasiswa        : Yohana
NIM                            : 170621100084
Kelas                           : 3C

Soal.

1.    Uraikanlah sejarah dan perkembangan sastra lisan di eropa, asia tenggara, dan Indonesia!
2.    Jelaskan pemikiran tokoh-tokoh sastra lisan di eropa aliran prancis dan amerika!
3.    Uraikanlah teori penyebaran sastra lisan dan teori migrasi lisan!
4.    Jelaskan pengertian folklore, sastra lisan, dan tradisi lisan!
5.    Buatlah judul penelitian sastra lisan dan jelaskan menggunakan teori apa untuk mengkaji judul tersebut!

Jawaban!
1.        Sejarah perkembangan sastra lisan di Indonesia. Jika berbicara tentang perkembangan sastra lisan  di Indonesia maka kita akan berbicara pada masa lalu dan masa sekarang. Pada masa lalu ketika di bawah terang bulan purnama, anak-anak biasanya duduk melingkari api unggun dan membakar ubi kayu yang telah mereka panen di kebun sambil mendongeng. Mendongeng adalah salah satu cara mereka mengisi waktu sebelum menyantap hasil panen. Dongeng-dongeng yang diceritakan itu tentu bukan karangan anak-anak itu sendiri tetapi meraka dapatkan dengan gratis dari orang lain, entah itu dari orang tua mereka atau orang-orang dewasa yang gemar mendongeng. Jadi, telah terbentuk satu rantai dongeng yang tidak putus hingga generasi mereka. Setelah berdongeng, mereka lanjutkan dengan berteka-teki dengan cirri khas masing-masing anak. Kemudian pada masa sekarang perubahan telah terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Budaya lisan akhirnya dihalangi oleh berbagai hal, misalnya televise telah mengisi panggung cerita dan tampaknya di yakini sanggup menghilangkan dahaga ingin tahu masyakat khususnya anak-anak. Para  pelaku sastra lisan sepertinya telah kehilangan pengagum dan kehabisan cara untuk menarik minat pendengar mereka.
Kenyataan ini membuat pelaku sastra lisan kehilangan selera untuk memelihara sastra lisan dan tradisi lisan yang ia ketahui. Salah satu contoh sastra lisan yang sudah mulai di lupakan adalah pantun. Dalam menggunakan bahasa daerah,  kita mungkin sudah jarang menghiasi pembicaraan kita dengan pantun, yang  struktur dan makna nyamakin sulit dimengerti. Kemampuan berpantun daerah bila tidak diasah akan hilang dengan sendirinya. Perkembangan sastra di Indonesia  maupun di dunia dimulai dari sastra lisan karena manusia mengenal tulisan setelah dia mengenal lisan. Akan tetapi, keberadaan sastra lisan semakin terpinggirkan karena perkembangan tradisi tulis yang sangat pesat. Padahal ada beberapa hal istimewa dari sastra lisan, mulai dari nilai-nilai yang terkandung hingga pengaruhnya terhadap kesusastraan Indonesia. Jadi segala kebudayaan yang dituturkan secara lisan dan diwariskan dengan metode lisan termasuk dalam kajian sastra lisan, yang meliputi cerita rakyat, teka-teki rakyat, drama kerakyatan, syair, gurindam, dan lain sebagainya. Di Indonesia, pengumpulan bahan cerita rakyat, puisi rakyat, dan teka-teki rakyat dilakukan pada abad ke-19 (1850-1900) oleh para penyiar agama nasrani dari Eropa. Awal mulanya pada abad ke-17 mereka tidak punya kepentingan untuk meneliti kebudayaan (sastra lisan di dalamnya) di Indonesia.
Akan tetapi pada abad ke- 19 Nederlansch Bijbelgenootschap atau Lembaga Alkitab Belanda menugaskan para penyiar agama nasrani untuk menerjemahkan kitab injil dalam berbagai bahasa Nusantara dan meneliti bahasa dan kesusastraan suku bangsa di Nusantara. Selanjutnya pada awal abad 20, beberapa ahli antropologi dan ahli folklore seperti W. Schmidt, W.H Rasser, Jan de Vies, dan lain-lain, yang mengolah lebih lanjut bahan-bahan yang telah dikumpulkan oleh beberapa peneliti sebelumnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa awal mula perkembangan sastra lisan di Indonesia dimulai dari kegiatan penerjemah Kitab Injil yang sejak awal abad ke-19  mulai diutus ke Hindia Belanda oleh Lembaga Alkitab Belanda,  dengan tugas utama untuk menerjemah Kitab Injil dalam berbagai bahasa Nusantara, tetapi mereka selalu ditugaskan pula sebagai persiapan bagi tugas utama, untuk secara ilmiah meneliti bahasa dan kesusastraan suku bangsa tempat bekerja.
Beberapa tokoh peneliti sastra rakyat yang patut dihormati sebagai peletak dasar studi sastra rakyat di Indonesia yaitu: Herman Neubronner van der Tuuk, N. Andriani, danP.Middelkoop. Kebanyakan dari mereka besar jasanya dari segi pengumpulan dan penerjemahan bahan-bahan sastra lisan. Akan tetapi umumnya mereka tidak banyak berminat untuk aspek-aspek teori sastra yang berkaitan dengan sastra rakyat. Mereka lebih tertarik dari segi ilmu atau deskripsi bahasa.
Perkembangan sastra lisan di Eropa. Eropa pada saat itu mulai timbul dalam abad ke-18, dalam rangka perkembangan kebudayaan yang lebih luas, yang sering disebut Romantik. Dalam abad ini muncul reaksi terhadap klasisme yang menyanjung-nyanjung zaman klasik sebagai puncak kebudayaan manusia, yang hanya tinggal diteladani dan ditiru. Juga berkat perkenalan dengan dunia lain, manusia yang disebut primitive ditemukan oleh manusia Eropa Barat. Orang yang disebut primitive dimuliakan karena nyanyian-nyanyian dan dalam pemakaian bahasa spontan ,belum dijinakkan oleh rasio yang mengekang keaslian dan kemurnian emosi manusia. Tidak kebetulanlah di masa itu pada satu pihak para pecinta sastra mulai menemukan, mengumpulkan dan meneliti sastra lisan yang dianggap primitif. Dan dipihak lain penyair Barat sendiri mulai menciptakan karya yang meneladani sastra lisan yang primitive itu.
Dalam hubungan ini perlu disebut nama filsuf Jerman  yang mencoba meletakkan dasar ilmiah  untuk pendekatan baru terhadap sastra, Johann Gottfried Herder (1744-1803) dengan tulisan mengenai asal-usul bahasa dan tulisan mengenai Gagasan mengenai Filsafat  Sejarah Umat Manusia. Bagi Herder asal-usul bahasa dan puisi identik: manusia primitif, purba, mulai belajar berbahasa lewat kesan-kesan yang diterima dari luar dirinya, dalam bentuk bunyi-bunyi yang secara spontan membayangkan impresi yang diterimanya itu. Bahasa pada awal mulanya hanya puisi alamiah saja, dan demikian lah puisi adalah cara berbahasa yang asli.  Herder juga mengembangkan teori mengenai rakyat sebagai dasar kebudayaan yang sungguh-sungguh: berdasarkan bahasa yang sama setiap masyarakat bahasa, mempunyai semacam semangat, jenius bersama, dan semangat bangsa yang sekaligus menjadi rakyat itulah pula yang terungkap dalam sastra primitif, pra-tulis. Berdasarkan gagasan-gagasan seperti yang dipaparkan oleh Herder, tidak lama kemudian di Jerman muncul Jakob dan Wilhelm Grimm, dua kakak-beradik yang dalam awal abad ke-19 mulai menerbitkan dongeng-dongeng rakyat Jerman yang mereka kumpulkan dari mulut rakyat yang berjudul Kinder-und Hausmarchen (1812)  dan dengan buku ini mereka melopori cabang ilmu yang adakalanya disebut ilmu sastra oral atau rakyat, adakalanya pula ilmu folklor, sebab penelitian semacam ini biasanya tidak terbatas pada cerita saja, tetapi juga  segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan rakyat pedesaaan. Kemudian dikembangkan lagi ilmu bandingan sastra khusus untuk sastra rakyat. Demikianlah berangsur-angsur berkembang ilmu bandingan sastra tersebut.
Perkembangan sastra lisan di Asia Tenggara. Bahasa sanskrit telah memengaruhi bahasa melayu sejak pengaruh kebudayaan hindu hingga zaman kedatangan Islam pada abad ke-13 masehi. Banyak perkataan sanskrit atau hindu tua yang dipinjam dan masih dipakai dalam bahasa melayu sampai sekarang. Dalam keagamaan seperti sembahyang, dewa, dewi, dosa, siksa, nirwana. Syurga, neraka, restu serta sebagainya, dan dalam kehidupan sehari-hari seperti budi, karya, jasa, gajah, cipta, boneka, negara, guru, harta, warna, duka, jiwa, dan beratus kata sanskrit lain yang tanpa sadar kita pakai itu berasal dari bahasa hindu tua. Disamping bahasa, pengaruh sastra India juga banyak berkembang dalam sastra melayu. Epik-epik ramayana dan mahabarata telah melahirkan berbagai prosa atau hikayat dalam sastra melayu.
2.        Pemikiranaliran Prancis yang juga disebut Aliran Lama. Dinamakan demikian karena sastra bandingan lahir di negara Prancis dan dibidangi oleh para pemikir Prancis. Para pelopor sastra bandingan di Prancis antara lain Fernand Baldensperger, Jean-Marie Carre, Paul van Tieghem, dan Marius-Francois Guyard. Buku-buku yang telah mereka tulis antara lain sebagai berikut.
(1) La Litterature Comparee (Paris, 1932-1951) karya Paul van Tieghem. Buku ini berisi uraian mengenai sejarah, teori, masalah, serta hasil kesusastraan umum dan bandingan. Bahan-bahan yang dipakai terbatas pada penerbitan berbahasa Prancis.
(2) La Litterature Comparee (cetakan pertama, Paris, 1951; edisi kelima, 1969) oleh Marius-Francois Guyard. Buku ini membawa kita pada perkenalan sastra bandingan yang sealiran dengan Paul van Tieghem.
(3) “La Litterature Comparee Depuis in Demi Siele” dalam Annales du Centre Universitaire Mediteranean 3 (1951), 69-77, karya Jean-Marie Carre. Karangan ini penting sebagai sebuah aliran, karena secara nyata mewakili Aliran Prancis dalam sastra bandingan aliran Guyard. Di sini Jean-Marie Carre melihat sastra bandingan sebagai sesuatu yang berbeda dengan “bandingan kesusastraan” atau “sastra umum”. Dalam karangan ini juga terdapat studi mengenai aspek pengaruh, sejarah perkembangan kesusastraan, dan sejarah interpretasi kesusastraan dari satu negara ke negara lain; selain ditekankan pula pentingnya kesusastraan itu sendiri.
Para pendukung aliran ini memiliki kesamaan pendapat. Meskipun demikian, secara individu terdapat perbedaan dalam hal-hal tertentu di antara mereka. Guyard dan Carre, misalnya, berpendapat bahwa penelitian “pengaruh” kurang meyakinkan. Bagi mereka, penelitian pengaruh lebih baik diarahkan kepada “penerimaan”, “perantaraan”, sikap seseorang terhadap sebuah negara pada suatu saat tertentu, perjalanan pengarang, dan sejenisnya. Sebaliknya Van Tieghem berpendapat bahwa penelitian “pengaruh” perlu.
Dalam praktik, aliran Prancis tidak seketat seperti apa yang dikatakan dalam teorinya. Hal ini tampak dalam judul karangan seperti Rousseau and the Origin of Literary Cosmopolitanismkarya Joseph Texte; Goethe in France dan The Circulation of Ideas in French Emigration karya Fernand Baldensperger; Goethe in England karya Jean-Marie Carre; The European Mind (1680-1715) dan European Thought in the XVIIIth Century karya Paul Hazard. Karya-karya Paul Hazard tentang peran Eropa, misalnya dapat disimpulkan bahwa sastra bandingan adalah pembandingan sastra secara sistematis dari dua negara yang berlainan. Dalam hal bandingan ini aliran Prancis lebih cenderung kepada hal-hal yang dapat dibuktikan dengan hal-hal nyata, misalnya dokumen pribadi pengarang, dan menolak kritik sastra sebagai unsur utama dari penelitian sastra bandingan, yang hanya memperlihatkan analogi dan perbedaan saja.
Aliran Amerika, yang juga disebut Aliran Baru. Dinamakan Aliran Baru karena aliran ini mengembangkan Aliran Prancis. Antara aliran Prancis dan aliran Amerika memiliki wawasan yang berbeda, namun tidak saling bertentangan. Aliran Amerika atau Aliran Baru cenderung lebih longgar dalam membandingkan karya sastra, di samping sepaham dengan aliran Prancis dalam hal-hal tertentu, mempunyai pandangan lain mengenai konsep pembandingan. Aliran Amerika berpandangan bahwa sastra bandingan bisa membandingkan karya sastra dengan karya bidang ilmu dan seni tertentu, seperti sastra dengan sejarah, sastra dengan falsafah, sastra dengan politik, sastra dengan ekonomi, sastra dengan sosiologi, sastra dengan agama, dan sastra dengan seni lukis. Bandingan seperti ini dapat memperluas peran sastra bagi segmen kehidupan lain.
Aliran Prancis cenderung membandingkan dua karya sastra dari dua negara yang berbeda, sedang aliran Amerika juga membandingkan karya sastra dengan disiplin ilmu lain. Bertolak dari dua “master” negara sastra bandingan itu, Endraswara (2011:28) berpandangan lebih lentur dan luas lagi: sastra bandingan dapat ditinjau dari bermacam-macam segi, yaitu (1) bandingan sastra antarnegara, misalnya sastra Indonesia dengan Malaysia, sastra Indonesia dengan sastra Mesir, dan seterusnya; (2) sastra bandingan antara sastra daerah dalam suatu negara, misalnya sastra Jawa dengan Sastra Sunda; (3) sastra bandingan dalam lingkup sastra daerah yang membanding dari unsur genre, nilai, dan sebagainya; dan (4) bandingan sastra, yaitu membandingkan sastra dengan bidang agama, politik, budaya, dan sebagainya.
Ada sedikit perbedaan mendasar antara aliran Amerika dan aliran Prancis. Para Pelopor aliran Prancis seperti Van Tieghem, Guyard, Etiemble, dan Juene tidak menyebutkan atau membincangkan langsung tentang hubungan sastra dengan bidang lain (misalnya seni lukis, musik, falsafah, dan politik) namun meletakkan hal demikian dalam seni bandingan bukan “sastra bandingan” karena alasan sejarah. Aliran Prancis khawatir penelitian antara sastra dan hal lain dari kehidupan manusia akan mewujudkan penelitian tidak ilmiah, yang pada akhirnya merusak penerimaan sastra bandingan sebagai bidang ilmu yang disegani. Meskipun begitu aliran Prancis menganggap bandingan antara sastra dan nonsastra sekedar “seni bandingan” dan bukan sastra bandingan.
3.        Teori penyebaran sastra lisan ada dua teori, yaitu teori monogenesis dan teori poligenesis. Monogenesis dimaksudkan bahwa suatu penemuan yang diikuti proses difusi atau penyebaran. Teori-teori yang tergolong monogenesis di antaranya teori Grimm bersaudara, teori mitologi Max Muller, dan teori Indianist Theodore Benfey. Di pihak lain, poligenesis yang berarti penemuan-penemuan itu sendiri atau sejajar dari motif-motif cerita yang sama, di tempat-tempat yang berlaiann serta dalam masa yang berlaianan maupun bersamaan. Teori-teori yang tergolong poligenesis di antaranya teori survival, teori psikoanalisis Sigmund Freud, dan teori Euhemerisme.
1)                  Teori monogenesis dipelopori oleh Jacob dan Wilhelm Grimm yang hidup pada abad ke-19 M. Grimm menyatakan bahwa dongeng yang telah mereka kumpulkan di Jerman sebenarnya adalah mite yang sudah rusak (broken-down mythe) yang berasal dari rumpun Indo-Eropa Kuno. Di pihak lain, Max Muller berdasarkan hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa semua nama dewa utama eropa melambangkan fenomena matahari. Oleh karena itu, teori Muller lebih dikenal dengan nama mitologi matahari atau philological school.
2)                  Teori poligenesis dipelopori oleh Andrew Lang. Andrew Lang memiliki pandangan bahwa setiap kebudayaan di dunia mempunyai kemampuan untuk berevolusi. Oleh sebab itu, masing-masing folk mempunyai kemampuan untuk melahirkan unsur-unsur kebudayaan yang sama dalam setiap taraf evolusi yang sama.
Teori migrasi lisan yaitu perpindahan sastra lisan dapat dibandingkan dengan perpindahan ‘kata-kata budaya’ (culture words), sebab sastra lisan penyampaiannya dari mulut ke mulut melalui media bahasa. Cerita dari bahasa yang satu berpindah ke bahasa yang lain, atau dialek yang satu ke dialek yang lain. bukan tidak mungkin, seseorang yang menguasai beberapa bahasa mengalihbahasakan sastra lisan tertentu ke dalam bahasa atau dialek lain yang dikuasai. Itulah sebabnya bagi peneliti yang mengarahkan fokus penelitian pada penyebaran (migrasi) sastra lisan akan merunut asal-usul informan. Dengan merujuk pada asal-usul informan akan diketahui asal-usul sastra lisan tersebut diperoleh. Selain itu, menurut Benfey (dalam Hutomo, 1991: 75) migrasi juga dapat terjadi melalui sastra tulis (literacy).

4.        Folklore menurut Dundes (1978: 7) folk  adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Secara keseluruhan, Danandjaja (2002: 2) mendefinisikan folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentyuk lisan maupun contoh-contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Sastra lisan menurut Hutomo (1991:1) mendefinisikan sastra lisan sebagai kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan di turun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Tradisi lisan merupakan istilah terjemahan dari abhasa Inggris oral tradition. Konsep tradisi lisan daoat disamakan dengan folklor. Yang membedakan hanya terletak pada unsur-unsur yang ditransmisi secara lisan.

5.        Judul penilitian “KAJIAN SASTRA LISAN MITOS SUMPAH LEMBU SURO DALAM LEGENDA GUNUNG KELUD DI DAERAH KEDIRI DENGAN MENGGUNAKAN TEORI LEVI STRAUSS” menggunakan teori Levi Strauss karena menganalisis mengenai bahasa. Mite mengandung semacam amanat yang dikodekan, dan tugas penganalisis adalah menemukan dan mengurai kode itu serta menyingkap amanatnya. Levi Strauss menyatakan bahwa struktur mite bersifat dialektis. Artinya dari sana ditampilkan oposisi dan kontradiksi tertentu dan selanjutnya ada semacam penengahan dan pemecahan. Menurut teori Levi Strauss ini terdapat adanya persamaan antara mitos dengan bahasa kesamaannya, yakni pertama, bahasa adalah sarana komunikasi   untuk menyampaikan pesan dari satu individu ke individu yang lain, atau kelompok satu ke kelompok yang lain. Demikian halnya dengan mitos, ia disampaikan melalui bahasa dan lewat proses penceritaan, pesan-pesan yang ada di dalamnya dapat tersampaikan. Kedua, seperti halnya bahasa, mitos mengandung aspek langue dan parole, sinkronis dan diakronis, sintagmatik dan paradigmatik.



Daftar Rujukan
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Bukupop.
Gusnetti, Syofiani, dan Romi Isnanda. 2015. Struktur dan Nilai-nilai Pendidikan dalam Cerita Rakyat Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Gramatika. 1(i2): 183-185. Sumatera Barat: Universitas Bung Hatta.
Sudikan, Setya Yuwana. 2015. Metode Penelitian Sastra Lisan. Lamongan: Pustaka Ilalang Group.

Sastra Lisan

UJIAN TENGAH SEMESTER SASTRA LISAN Hari/Tanggal                : Rabu, 10 Oktober 2018 Matakuliah                   : Sastra Lisa...