UJIAN
TENGAH SEMESTER SASTRA LISAN
Hari/Tanggal : Rabu, 10 Oktober 2018
Matakuliah : Sastra Lisan
Dosen
Pengampu : Ahmad Jami’ul Amil,
M.Pd.
Ruangan : RKB D 203
Nama
Mahasiswa : Yohana
NIM : 170621100084
Kelas : 3C
Soal.
1. Uraikanlah sejarah dan perkembangan sastra lisan di
eropa, asia tenggara, dan Indonesia!
2. Jelaskan
pemikiran tokoh-tokoh sastra lisan di eropa aliran prancis dan amerika!
3. Uraikanlah
teori penyebaran sastra lisan dan teori migrasi lisan!
4. Jelaskan
pengertian folklore, sastra lisan, dan tradisi lisan!
5. Buatlah
judul penelitian sastra lisan dan jelaskan menggunakan teori apa untuk mengkaji
judul tersebut!
Jawaban!
1.
Sejarah
perkembangan sastra lisan di Indonesia. Jika berbicara tentang perkembangan sastra lisan di
Indonesia maka kita akan berbicara pada masa lalu dan masa sekarang. Pada masa
lalu ketika di bawah terang bulan purnama, anak-anak biasanya duduk melingkari
api unggun dan membakar ubi kayu yang telah mereka panen di kebun sambil
mendongeng. Mendongeng adalah salah satu cara mereka mengisi waktu sebelum
menyantap hasil panen. Dongeng-dongeng yang diceritakan itu tentu bukan
karangan anak-anak itu sendiri tetapi meraka dapatkan dengan gratis dari orang lain,
entah itu dari orang tua mereka atau orang-orang dewasa yang gemar mendongeng.
Jadi, telah terbentuk satu rantai dongeng yang tidak putus hingga generasi
mereka. Setelah berdongeng, mereka lanjutkan dengan berteka-teki dengan cirri
khas masing-masing anak. Kemudian pada masa sekarang perubahan telah terjadi
seiring dengan berjalannya waktu. Budaya lisan akhirnya dihalangi oleh berbagai
hal, misalnya televise telah mengisi panggung cerita dan tampaknya di yakini
sanggup menghilangkan dahaga ingin tahu masyakat khususnya anak-anak. Para pelaku sastra lisan sepertinya telah
kehilangan pengagum dan kehabisan cara untuk menarik minat pendengar mereka.
Kenyataan ini membuat pelaku sastra lisan kehilangan selera
untuk memelihara sastra lisan dan tradisi lisan yang ia ketahui. Salah satu
contoh sastra lisan yang sudah mulai di lupakan adalah pantun. Dalam
menggunakan bahasa daerah, kita mungkin
sudah jarang menghiasi pembicaraan kita dengan pantun, yang struktur dan makna nyamakin sulit dimengerti.
Kemampuan berpantun daerah bila tidak diasah akan hilang dengan sendirinya.
Perkembangan sastra di Indonesia maupun
di dunia dimulai dari sastra lisan karena manusia mengenal tulisan setelah dia
mengenal lisan. Akan tetapi, keberadaan sastra lisan semakin terpinggirkan
karena perkembangan tradisi tulis yang sangat pesat. Padahal ada beberapa hal
istimewa dari sastra lisan, mulai dari nilai-nilai yang terkandung hingga
pengaruhnya terhadap kesusastraan Indonesia. Jadi segala kebudayaan yang
dituturkan secara lisan dan diwariskan dengan metode lisan termasuk dalam
kajian sastra lisan, yang meliputi cerita rakyat, teka-teki rakyat, drama
kerakyatan, syair, gurindam, dan lain sebagainya. Di Indonesia, pengumpulan
bahan cerita rakyat, puisi rakyat, dan teka-teki rakyat dilakukan pada abad
ke-19 (1850-1900) oleh para penyiar agama nasrani dari Eropa. Awal mulanya pada
abad ke-17 mereka tidak punya kepentingan untuk meneliti kebudayaan (sastra
lisan di dalamnya) di Indonesia.
Akan tetapi pada abad ke- 19 Nederlansch Bijbelgenootschap atau Lembaga Alkitab
Belanda menugaskan para penyiar agama nasrani untuk menerjemahkan kitab injil
dalam berbagai bahasa Nusantara dan meneliti bahasa dan kesusastraan suku
bangsa di Nusantara. Selanjutnya pada awal abad 20, beberapa ahli antropologi
dan ahli folklore seperti W. Schmidt, W.H Rasser, Jan de Vies, dan lain-lain,
yang mengolah lebih lanjut bahan-bahan yang telah dikumpulkan oleh beberapa
peneliti sebelumnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa awal mula perkembangan sastra
lisan di Indonesia dimulai dari kegiatan penerjemah Kitab Injil yang sejak awal
abad ke-19 mulai diutus ke Hindia
Belanda oleh Lembaga Alkitab Belanda,
dengan tugas utama untuk menerjemah Kitab Injil dalam berbagai bahasa
Nusantara, tetapi mereka selalu ditugaskan pula sebagai persiapan bagi tugas
utama, untuk secara ilmiah meneliti bahasa dan kesusastraan suku bangsa tempat
bekerja.
Beberapa tokoh peneliti sastra rakyat yang patut dihormati
sebagai peletak dasar studi sastra rakyat di Indonesia yaitu: Herman Neubronner
van der Tuuk, N. Andriani, danP.Middelkoop. Kebanyakan dari mereka besar
jasanya dari segi pengumpulan dan penerjemahan bahan-bahan sastra lisan. Akan
tetapi umumnya mereka tidak banyak berminat untuk aspek-aspek teori sastra yang
berkaitan dengan sastra rakyat. Mereka lebih tertarik dari segi ilmu atau
deskripsi bahasa.
Perkembangan sastra lisan di Eropa. Eropa pada saat itu mulai timbul
dalam abad ke-18, dalam rangka perkembangan kebudayaan yang lebih luas, yang
sering disebut Romantik. Dalam abad ini muncul reaksi terhadap klasisme yang
menyanjung-nyanjung zaman klasik sebagai puncak kebudayaan manusia, yang hanya
tinggal diteladani dan ditiru. Juga berkat perkenalan dengan dunia lain,
manusia yang disebut primitive ditemukan oleh manusia Eropa Barat. Orang yang
disebut primitive dimuliakan karena nyanyian-nyanyian dan dalam pemakaian
bahasa spontan ,belum dijinakkan oleh rasio yang mengekang keaslian dan
kemurnian emosi manusia. Tidak kebetulanlah di masa itu pada satu pihak para
pecinta sastra mulai menemukan, mengumpulkan dan meneliti sastra lisan yang
dianggap primitif. Dan dipihak lain penyair Barat sendiri mulai menciptakan
karya yang meneladani sastra lisan yang primitive itu.
Dalam hubungan ini perlu disebut nama filsuf Jerman
yang mencoba meletakkan dasar ilmiah untuk pendekatan baru terhadap
sastra, Johann Gottfried Herder (1744-1803) dengan tulisan mengenai asal-usul
bahasa dan tulisan mengenai Gagasan mengenai Filsafat Sejarah Umat
Manusia. Bagi Herder asal-usul bahasa dan puisi identik: manusia primitif,
purba, mulai belajar berbahasa lewat kesan-kesan yang diterima dari luar
dirinya, dalam bentuk bunyi-bunyi yang secara spontan membayangkan impresi yang
diterimanya itu. Bahasa pada awal mulanya hanya puisi alamiah saja, dan
demikian lah puisi adalah cara berbahasa yang asli. Herder juga
mengembangkan teori mengenai rakyat sebagai dasar kebudayaan yang
sungguh-sungguh: berdasarkan bahasa yang sama setiap masyarakat bahasa,
mempunyai semacam semangat, jenius bersama, dan semangat bangsa yang sekaligus
menjadi rakyat itulah pula yang terungkap dalam sastra primitif, pra-tulis.
Berdasarkan gagasan-gagasan seperti yang dipaparkan oleh Herder, tidak lama
kemudian di Jerman muncul Jakob dan Wilhelm Grimm, dua kakak-beradik yang dalam
awal abad ke-19 mulai menerbitkan dongeng-dongeng rakyat Jerman yang mereka
kumpulkan dari mulut rakyat yang berjudul Kinder-und Hausmarchen (1812) dan dengan buku ini mereka melopori cabang
ilmu yang adakalanya disebut ilmu sastra oral atau rakyat, adakalanya pula ilmu
folklor, sebab penelitian semacam ini biasanya tidak terbatas pada cerita saja,
tetapi juga segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan rakyat
pedesaaan. Kemudian dikembangkan lagi ilmu bandingan sastra khusus untuk sastra
rakyat. Demikianlah berangsur-angsur berkembang ilmu bandingan sastra tersebut.
Perkembangan sastra lisan di Asia
Tenggara. Bahasa
sanskrit telah memengaruhi bahasa melayu sejak pengaruh kebudayaan hindu hingga
zaman kedatangan Islam pada abad ke-13 masehi. Banyak perkataan sanskrit atau
hindu tua yang dipinjam dan masih dipakai dalam bahasa melayu sampai sekarang.
Dalam keagamaan seperti sembahyang, dewa, dewi, dosa, siksa, nirwana. Syurga,
neraka, restu serta sebagainya, dan dalam kehidupan sehari-hari seperti budi,
karya, jasa, gajah, cipta, boneka, negara, guru, harta, warna, duka, jiwa, dan
beratus kata sanskrit lain yang tanpa sadar kita pakai itu berasal dari bahasa
hindu tua. Disamping bahasa, pengaruh sastra India juga banyak berkembang dalam
sastra melayu. Epik-epik ramayana dan mahabarata telah melahirkan berbagai
prosa atau hikayat dalam sastra melayu.
2.
Pemikiranaliran Prancis yang
juga disebut Aliran Lama. Dinamakan demikian karena sastra bandingan lahir di
negara Prancis dan dibidangi oleh para pemikir Prancis. Para pelopor sastra
bandingan di Prancis antara lain Fernand Baldensperger, Jean-Marie Carre, Paul
van Tieghem, dan Marius-Francois Guyard. Buku-buku yang telah mereka tulis
antara lain sebagai berikut.
(1) La Litterature Comparee (Paris, 1932-1951)
karya Paul van Tieghem. Buku ini berisi uraian mengenai sejarah, teori,
masalah, serta hasil kesusastraan umum dan bandingan. Bahan-bahan yang dipakai
terbatas pada penerbitan berbahasa Prancis.
(2) La Litterature Comparee (cetakan
pertama, Paris, 1951; edisi kelima, 1969) oleh Marius-Francois Guyard. Buku ini
membawa kita pada perkenalan sastra bandingan yang sealiran dengan Paul van
Tieghem.
(3) “La Litterature Comparee Depuis
in Demi Siele” dalam Annales du Centre Universitaire
Mediteranean 3 (1951), 69-77, karya Jean-Marie Carre. Karangan
ini penting sebagai sebuah aliran, karena secara nyata mewakili Aliran Prancis
dalam sastra bandingan aliran Guyard. Di sini Jean-Marie Carre melihat sastra
bandingan sebagai sesuatu yang berbeda dengan “bandingan kesusastraan” atau
“sastra umum”. Dalam karangan ini juga terdapat studi mengenai aspek pengaruh,
sejarah perkembangan kesusastraan, dan sejarah interpretasi kesusastraan dari
satu negara ke negara lain; selain ditekankan pula pentingnya kesusastraan itu
sendiri.
Para pendukung aliran ini memiliki kesamaan pendapat.
Meskipun demikian, secara individu terdapat perbedaan dalam hal-hal tertentu di
antara mereka. Guyard dan Carre, misalnya, berpendapat bahwa penelitian
“pengaruh” kurang meyakinkan. Bagi mereka, penelitian pengaruh lebih baik
diarahkan kepada “penerimaan”, “perantaraan”, sikap seseorang terhadap sebuah
negara pada suatu saat tertentu, perjalanan pengarang, dan sejenisnya.
Sebaliknya Van Tieghem berpendapat bahwa penelitian “pengaruh” perlu.
Dalam praktik, aliran Prancis tidak seketat seperti
apa yang dikatakan dalam teorinya. Hal ini tampak dalam judul karangan
seperti Rousseau and the Origin of Literary Cosmopolitanismkarya
Joseph Texte; Goethe in France dan The Circulation of Ideas in French Emigration karya
Fernand Baldensperger; Goethe in England karya
Jean-Marie Carre; The European Mind (1680-1715)
dan European Thought in the XVIIIth Century karya
Paul Hazard. Karya-karya Paul Hazard tentang peran Eropa, misalnya dapat
disimpulkan bahwa sastra bandingan adalah pembandingan sastra secara sistematis
dari dua negara yang berlainan. Dalam hal bandingan ini aliran Prancis lebih
cenderung kepada hal-hal yang dapat dibuktikan dengan hal-hal nyata, misalnya
dokumen pribadi pengarang, dan menolak kritik sastra sebagai unsur utama dari
penelitian sastra bandingan, yang hanya memperlihatkan analogi dan perbedaan
saja.
Aliran Amerika,
yang juga disebut Aliran Baru. Dinamakan Aliran Baru karena aliran ini
mengembangkan Aliran Prancis. Antara aliran Prancis dan aliran Amerika memiliki
wawasan yang berbeda, namun tidak saling bertentangan. Aliran Amerika atau
Aliran Baru cenderung lebih longgar dalam membandingkan karya sastra, di
samping sepaham dengan aliran Prancis dalam hal-hal tertentu, mempunyai
pandangan lain mengenai konsep pembandingan. Aliran Amerika berpandangan bahwa
sastra bandingan bisa membandingkan karya sastra dengan karya bidang ilmu dan
seni tertentu, seperti sastra dengan sejarah, sastra dengan falsafah, sastra
dengan politik, sastra dengan ekonomi, sastra dengan sosiologi, sastra dengan
agama, dan sastra dengan seni lukis. Bandingan seperti ini dapat memperluas
peran sastra bagi segmen kehidupan lain.
Aliran Prancis cenderung
membandingkan dua karya sastra dari dua negara yang berbeda, sedang aliran
Amerika juga membandingkan karya sastra dengan disiplin ilmu lain. Bertolak
dari dua “master” negara sastra bandingan itu, Endraswara (2011:28)
berpandangan lebih lentur dan luas lagi: sastra bandingan dapat ditinjau dari
bermacam-macam segi, yaitu (1) bandingan sastra antarnegara, misalnya sastra
Indonesia dengan Malaysia, sastra Indonesia dengan sastra Mesir, dan
seterusnya; (2) sastra bandingan antara sastra daerah dalam suatu negara,
misalnya sastra Jawa dengan Sastra Sunda; (3) sastra bandingan dalam lingkup
sastra daerah yang membanding dari unsur genre, nilai, dan
sebagainya; dan (4) bandingan sastra, yaitu membandingkan sastra dengan bidang
agama, politik, budaya, dan sebagainya.
Ada sedikit perbedaan mendasar antara aliran Amerika
dan aliran Prancis. Para Pelopor aliran Prancis seperti Van Tieghem, Guyard,
Etiemble, dan Juene tidak menyebutkan atau membincangkan langsung tentang
hubungan sastra dengan bidang lain (misalnya seni lukis, musik, falsafah, dan
politik) namun meletakkan hal demikian dalam seni bandingan bukan “sastra
bandingan” karena alasan sejarah. Aliran Prancis khawatir penelitian antara
sastra dan hal lain dari kehidupan manusia akan mewujudkan penelitian tidak
ilmiah, yang pada akhirnya merusak penerimaan sastra bandingan sebagai bidang
ilmu yang disegani. Meskipun begitu aliran Prancis menganggap bandingan antara
sastra dan nonsastra sekedar “seni bandingan” dan bukan sastra bandingan.
3.
Teori penyebaran sastra lisan ada dua
teori, yaitu teori monogenesis dan teori poligenesis. Monogenesis dimaksudkan
bahwa suatu penemuan yang diikuti proses difusi atau penyebaran. Teori-teori
yang tergolong monogenesis di antaranya teori Grimm bersaudara, teori mitologi
Max Muller, dan teori Indianist Theodore Benfey. Di pihak lain, poligenesis yang
berarti penemuan-penemuan itu sendiri atau sejajar dari motif-motif cerita yang
sama, di tempat-tempat yang berlaiann serta dalam masa yang berlaianan maupun
bersamaan. Teori-teori yang tergolong poligenesis di antaranya teori survival,
teori psikoanalisis Sigmund Freud, dan teori Euhemerisme.
1)
Teori monogenesis dipelopori oleh Jacob
dan Wilhelm Grimm yang hidup pada abad ke-19 M. Grimm menyatakan bahwa dongeng
yang telah mereka kumpulkan di Jerman sebenarnya adalah mite yang sudah rusak (broken-down mythe) yang berasal dari
rumpun Indo-Eropa Kuno. Di pihak lain, Max Muller berdasarkan hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa semua nama dewa utama eropa melambangkan
fenomena matahari. Oleh karena itu, teori Muller lebih dikenal dengan nama mitologi matahari atau philological school.
2)
Teori poligenesis dipelopori oleh Andrew
Lang. Andrew Lang memiliki pandangan bahwa setiap kebudayaan di dunia mempunyai
kemampuan untuk berevolusi. Oleh sebab itu, masing-masing folk mempunyai kemampuan untuk melahirkan unsur-unsur kebudayaan
yang sama dalam setiap taraf evolusi yang sama.
Teori
migrasi lisan yaitu perpindahan sastra lisan dapat dibandingkan dengan
perpindahan ‘kata-kata budaya’ (culture
words), sebab sastra lisan penyampaiannya dari mulut ke mulut melalui media
bahasa. Cerita dari bahasa yang satu berpindah ke bahasa yang lain, atau dialek
yang satu ke dialek yang lain. bukan tidak mungkin, seseorang yang menguasai
beberapa bahasa mengalihbahasakan sastra lisan tertentu ke dalam bahasa atau
dialek lain yang dikuasai. Itulah sebabnya bagi peneliti yang mengarahkan fokus
penelitian pada penyebaran (migrasi) sastra lisan akan merunut asal-usul
informan. Dengan merujuk pada asal-usul informan akan diketahui asal-usul
sastra lisan tersebut diperoleh. Selain itu, menurut Benfey (dalam Hutomo,
1991: 75) migrasi juga dapat terjadi melalui sastra tulis (literacy).
4.
Folklore menurut Dundes (1978: 7) folk adalah sekelompok orang yang memiliki
ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari
kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan lore
adalah tradisi folk, yaitu
sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau
suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Secara keseluruhan, Danandjaja (2002: 2) mendefinisikan folklor adalah sebagian
kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara
kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik
dalam bentyuk lisan maupun contoh-contoh yang disertai dengan gerak isyarat
atau alat pembantu pengingat. Sastra lisan menurut Hutomo (1991:1)
mendefinisikan sastra lisan sebagai kesusastraan yang mencakup ekspresi
kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan di turun-temurunkan
secara lisan (dari mulut ke mulut). Tradisi lisan merupakan istilah terjemahan
dari abhasa Inggris oral tradition. Konsep
tradisi lisan daoat disamakan dengan folklor. Yang membedakan hanya terletak
pada unsur-unsur yang ditransmisi secara lisan.
5.
Judul penilitian “KAJIAN SASTRA LISAN MITOS SUMPAH LEMBU SURO DALAM LEGENDA GUNUNG KELUD DI DAERAH KEDIRI DENGAN
MENGGUNAKAN TEORI LEVI STRAUSS” menggunakan teori Levi Strauss
karena menganalisis mengenai bahasa. Mite mengandung semacam amanat yang
dikodekan, dan tugas penganalisis adalah menemukan dan mengurai kode itu serta
menyingkap amanatnya. Levi Strauss menyatakan bahwa struktur mite bersifat
dialektis. Artinya dari sana ditampilkan oposisi dan kontradiksi tertentu dan
selanjutnya ada semacam penengahan dan pemecahan. Menurut teori Levi Strauss ini
terdapat
adanya
persamaan
antara
mitos
dengan
bahasa
kesamaannya, yakni
pertama, bahasa
adalah
sarana
komunikasi untuk menyampaikan pesan dari satu individu ke individu yang lain, atau
kelompok
satu
ke
kelompok yang lain. Demikian
halnya
dengan
mitos, ia
disampaikan
melalui
bahasa
dan
lewat proses penceritaan,
pesan-pesan yang ada di dalamnya dapat tersampaikan. Kedua, seperti
halnya
bahasa, mitos
mengandung
aspek
langue
dan parole, sinkronis
dan
diakronis, sintagmatik
dan
paradigmatik.
Daftar Rujukan
Endraswara,
Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan.
Jakarta: Bukupop.
Gusnetti,
Syofiani, dan Romi Isnanda. 2015. Struktur dan Nilai-nilai Pendidikan dalam
Cerita Rakyat Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Gramatika. 1(i2): 183-185. Sumatera
Barat: Universitas Bung Hatta.
Sudikan,
Setya Yuwana. 2015. Metode Penelitian
Sastra Lisan. Lamongan: Pustaka Ilalang Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar